Thursday, 1 November 2018

DALANG DAN UNSUR KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA

PERANAN SEORANG DALANG WAYANG KULIT
DALAM UNSUR KEBUDAYAAN
MASYARAKAT JAWA
Oleh
WAHYU DUNUNG RAHARJO

Pendahuluan
Menjadi seorang dalang adalah tradisi berabad-abad yang diperoleh secara turun-temurun. Eksistensi dalang hingga saat ini masih bisa dilihat dari maraknya pementasan wayang kulit, baik secara langsung maupun rekaman digital yang bisa kita lihat melalui berbagai aplikasi pemutar video di internet, salah satunya Youtube.
Eksistensi seorang dalang tentunya tidak lepas dari peran masyarakat itu sendiri. Adanya jalinan sosial yang baik dan saling membutuhkan antara dalang dan masyarakat membuat profesi ini masih saja dibutuhkan. Bagi masyarakat jawa, dalang bukan hanya sekedar profesi namun memiliki sebuah peran yang penting, yang berhubungan langsung dengan penyelesaian problem sosial serta pengetahuan lokal.
Definisi dalang adalah orang yang berprofesi menjadi pemain wayang, dan menghibur masyarakat melalui pergelaranya. Namun jauh di dalam ruang kehidupan masyarakat jawa, peranan seorang dalang melebur dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat.

Dalang dan Religi
Fungsi dan peranan dalang dan kehidupan religi masyarakat sangatlah erat hubunganya, mengingat cerita wayang sangat sarat dengan nilai kerohanian. Falsafah kerohanian yang dimaksud bukan hanya mengenai ajaran moral saja, yakni tentang baik-buruk maupun benar-salah saja, namun juga mengedepankan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Cerita pewayangan yang disajikan oleh dalang dituntut mencakup dua aspek yakni tontonan dan tuntunan. Tontonan adalah aspek pergelaran yang ditangkap oleh panca indera, yakni sebuah pergelaran yang menarik dilihat, enak didengar dan juga menghibur. Sedangkan tuntunan yang dimaksud adalah ajaran maknawi yang menyentuh batin penonton dan membawanya menuju jalan yang benar atau mencapai pencerahan.
Selain mempersiapkan sebuah pertunjukkan menarik dengan mengkonsep, melatih diri dan menambah wawasan, seorang dalang juga perlu mempersiapkan pondasi batin yang kuat. Hal ini bertujuan supaya pergelaran yang akan dilakukan bukan hanya memuaskan panca indera penonton, namun juga memberi sebuah nilai kerohanian. Beberapa hal yang lazim dilakukan serang dalang dalam hal kerohanian adalah dengan melakukan ritual (nglakoni). Adapaun wujud ritual yang dilakukan adalah bervariasai, sesuai dengan niat dan keyakinan masing-masing. Beberapa ritual tersebut antara lain:
1. Sesirik : menjalankan pantangan tertentu.
2. Mutih : hanya makan nasi putih, tanpa lauk-pauk.
3. Pasa : menjalankan puasa.
4. Kungkum : merendam diri di sungai atau mata air, dimalam hari.
5. Semedi : berdiam diri di tempat yang sepi atau dianggap keramat.
Pada perkembanganya, selain ritual yang dilakukan diatas, dalang juga menempuh pendidikan rohani keagamaan seperti nyantri, sekolah theologi, dan memperdalam kerohanian sesuai ajaran agama yang diyakininya. Pada konteks dalang santi (sebagai contoh Alm. Ki enthus Susmono) proses melatih diri jasmani maupun rohani tersebut akan menghasilkan sebuah pemahaman yang membawa wayang pada dakwah Islam. Pemahaman tersebut antara lain:
Semar : kemungkinan berasal dari bahasa Arab, Amar yang berarti perintah.
Petruk : kemungkinan berasal dari bahasa Arab, Fatruk yang berarti perintah untuk ditinggalkan.
Jadi Semar dan Petruk merupakan pengejawantahan dari amar maruf nahi mungkar, yakni perintah untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang jahat.
Ki Enthus Susmono (Almarhum)
Dalang Sebagai Profesi
Jauh sebelum era perkembangan ekonomi kreatif, dalang telah menempati kedudukanya sebagai sebuah mata pencaharian. Meskipun di era 80-90an hal ini jarang sekali diakui, namun tak sedikit seniman pemain wayang kulit yang menggantungkan hidup dari profesi ini saja. Namun demikian, tak sedikit pula dalang yang menjalani pekerjaan lain seperti bertani, berdagang, menjadi pegawai dan membuat wayang kulit.
Kelompok atau perorangan yang menggunakan jasa seorang dalang biasanya disebut sebagai penanggap. Nanggap dalam bahasa jawa berarti menyelenggarakan suatu pertunjukkan dengan memberikan timbal balik kepada seniman. Pemberian penanggap atas jasa seniman dalang biasanya berupa sejumlah uang yang digunakan dalang untuk menghidupi dirinya sendiri, keluarganya, serta seluruh rombonganya. Dengan kata lain, penanggap memberikan upah kepada dalang atas jasa pergelaran wayang yang telah dilaksanakan.
Ada beberapa hal yang menarik dari hubungan dalang dan penanggap. Walaupun secara sekilas hubungan itu seperti penguna jasa dan penyedia jasa, atau penjual dan pembeli, namun tidaklah mutlak seperti itu. Beberapa tradisi antara penanggap dan dalang yang masih bisa ditemui di wilayah Surakarta adalah sebagai  berikut:
1. Penanggap adalah pihak yang wajib datang (berkunjung) menemui dalang untuk meminta pertolongan (nyuwun berkah) menggelar pertunjukkan. Sangat tidak patut apabila seorang dalang lah yang menemui penanggap dan menawarkan jasa pertunjukkan. Di era modern ini, penggunaan telepon (seluler) mampu menggantikan tradisi berkunjung ini. Hanya saja prinsipnya sama, penanggap-lah yang harus menghubungi terlebih dahulu untuk nyuwun berkah kepada dalang.
2. Pembicaraan mengenai nominal yang disediakan penanggap kepada dalang adalah dianggap tabu. Sehingga penanggap akan mencari tahu sendiri berapa nilai tanggapan yang layak untuk dalang A di wilayah tertentu. Cara mencari informasi yang paling sering dilakukan adalah bertanya dengan penanggap yang pernah menggunakan jasa dalang tersebut.
3. Perjanjian antara penanggap dan dalang hanya dilakukan secara lisan saja. Kesepakatan kerjasama bernilai puluhan juta rupiah ini hanya berdasarkan kepada kepercayaan satu sama lain.
4. Adanya tradisi panjer (uang muka) sebagai tanda jadi sebuah kesepakatan pergelaran. Seperti halnya pada proses jual beli, tradisi ini bersifat sebagai pengikat antara kedua belah pihak. Supaya penanggap tidak mencari dalang lain pada acara yang sama, juga supaya dalang tidak menerima job tanggapan yang lain diwaktu yang sama.
5. Dari total keseluruhan anggaran pergelaran, dalang tidak pernah mematok harga untuk membayar dirinya sendiri (fee dalang). Biasanya bagian dalang adalah sisa dari seluruh anggaran dikurangi kebutuhan sewa, jasa angkut, dan pembayaran fee para seniman pendukung pagelaran (pengrawit maupun sindhen). Jadi, besar kecil sisa yang diterima dalang tidaklah pasti.
Hal tersebut diatas adalah hubungan dalang sebagai profesi dengan penanggap, secara tradisi masih berlaku hingga sekarang. Namun pada perkembanganya, kini penanggap wayang bukan hanya perseorangan maupun kelompok masyarakat, namun juga instansi seperti kantor, sekolah dan perguruan tinggi.
Sebuah instansi tentu memiliki sistem pertanggungjawaban keuangan, sehingga hal ini juga merubah beberapa tradisi diatas. Dalam konteks tanggapan instansi, besaran dana pergelaran wayang haruslah jelas diawal, sebab hal ini berhubungan dengan laporan keuangan. Penggunaan kontrak kerjasama maupun surat perjanjian bermeterai juga diperlukan pada konteks ini.
Ki Wahyu Dunung Raharjo memainkan tokoh Gathutkaca
Peranan Dalang Dalam Organisasi Sosial
Masyarakat jawa seringkali menyebut seorang dalang dengan istilah Ki Dalang atau Kyai Dalang. Menurut maknanya, kyai adalah seeseorang atau sesuatu yang sangat dihormati atau disakralkan. Penghormatan terhadap orang atau benda tersebut seringkali berdasarkan pada anggapan bahwa orang atau benda tersebut dianggap memiliki kekuatan tertentu (kaluwihan). Kekuatan yang dimaksud seringkali dihubungkan dengan daya magis, atau kekuatan yang tak terlihat dan bernilai positif.
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa seorang dalang menempati posisi yang sakral dan spesial pada kultur masyarakat jawa. Dalang seringkali dianggap sebagai seseorang yang mumpuni, atau memiliki berbagai macam keahlian, juga diartikan sebagai seseorang yang berwawasan luas. Bahkan di masa lampau, kedudukan seorang dalang disejajarkan dengan lurah, dokter dan orang tua (guru spiritual).
Tidak jarang dalang dianggap sebagai seseorang yang mampu menyelesaikan berbagai masalah sosial dan spiritual. Masalah sosial seperti sengketa kepemilikan tanah, warisan, perceraian seringkali diselesaikan dengan petuah kyai dalang. Sering pula sebelum memulai pergelaran wayang kulit, dalang harus menerima kedatangan para ibu yang membawa anaknya yang sedang sakit untuk minta disembuhkan. Hal ini membuktikan dalang memiliki banyak peranan pada kehidupan masyarakat jawa.
Haryanto menggolongkan beberapa peranan dalang antara lain sebagai berkut:
1. Dalang sebagai seniman murni
2. Dalang sebagai pendidik
3. Dalang sebagai ahli falsafah dan kerohanian
4. Dalang sebagai juru suluh
5. Dalang sebagai juru dakwah
6. Dalang sebagai juru hibur
7. Dalang sebagai komunikator sosial
8. Dalang sebagai pelestari budaya

Di masa kini, masyarakat masih menganggap dalang sebagai wong pinunjul, yakni orang yang memiliki berbagai kelebihan. Hal ini dapat dilihat di beberapa tempat di Klaten yang masih memelihara tradisi bersih desa maupun rasulan. Beberapa tempat tersebut memiliki tradisi untuk selalu lakon yang dianggap keramat dan gawat yakni kisah bharatayudha.
Kisah bharatayudha adalah kisah tentang peperangan Pandhawa dan Korawa yang menggambarkan tentang perwakilan watak baik dan jahat, dharma dan angkara. Lakon tersebut dianggap keramat karena masyarakat percaya bahwa sajian bharatayudha tidak boleh diganti dengan lakon yang lain. Sebab apabila diganti, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti wabah penyakit, panen gagal, bencana alam, dan sebagainya.
Sedangkan arti gawat adalah tidak sembarangan dalang yang bisa menyajikan pagelaran tersebut. Apabila dalang yang melakukan pergelaran tidak bersih jiwa dan raganya maka akan mendapatkan celaka atau mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini tentu berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, bahwa pergelaran bharatayudha adalah pergelaran ruwat bumi, yakni doa penyucian terhadap wilayah tertentu kepada Tuhan. Dalam hal ini, dalang dianggap sebagai orang yang mampu menjadi mediator, penghubung antara masyarakat dan Sang Pencipta.
Ki Wahyu Dunung Raharjo melakonkan Bharatayuda di Desa Wisata Jarum, Bayat, Klaten
Dalang dan Pengetahuan Lokal
Sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik dari masyarakat dengan lingkunganya (Rosyadi:431). Pengetahuan lokal seringkali digunakan masyarakat setempat sebagai dasar pengambilan kebijakan atau penyelesaian segala permasalahan sosial.
Salah satu pengetahuan lokal masyarakat jawa yang bersifat intengible (tak berwujud) adalah adanya perhitungan tentang musim (pranata mangas). Perhitungan tersebut seringkali dipergunakan dalam menentukan kapan perseorangan atau masyarakat harus melaksanakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan bercocok tanam supaya semua mendapat keberkahan.  Sebagai contoh dalam hal menebang pohon, orang jawa percaya bahwa waktu yang paling tepat untuk melakukan kegiatan ini adalah mangsa kasanga (jita) hingga mangsa karolas (asuji). Masa itu apabila dilihat dengan kalender masehi adalah periode hingga awal Maret hingga pertengahan Juni.
Peranan dalang dalam hal pengetahuan lokal masyarakat adalah seringkali sebagai penasehat (konsultan). Masyarakat seringkali datang kepada Kyai Dalang untuk meminta nasehat mengenai tanggal yang baik untuk menanam padi, atau juga untuk menyelenggarakan hajatan. Dalam hal ini, seorang dalang tentu harus memiliki wawasan yang luas tentang penanggalan jawa, pranata mangsa maupun perhitungan lainya.
Selain dalam hal penanggalan, dalang seringkali menjadi konsultan dalam hal penyembuhan sakit penyakit. Banyak masyarakat yang percaya bahwa dalang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Sehingga seorang dalang harus belajar tentang metode pengobatan alami yang diperoleh secara turun-temurun. Dalam hal ini mungkin bukan metode yang terbukti secara medis, namun masyarakat sendiri telah membuktikanya.

Dalang Dalam Kajian Bahasa
Menurut Hazeu, kata dalang berasal dari kata langlang, yang berarti menjelajah, mengembara, mengadakan perjalanan. Hal ini senada dengan kegiatan dalan masa lampau yakni ambarang wayang, yang berarti menyelenggarakan pementasan wayang dari satu tempat ke tempat lain, berpindah-ndah, hingga merangkai sebuah perjalanan.
Berbeda dengan pandangan Hazeu, masyarakat jawa memang sejak dulu dikenal sebagai orang yang kreatif dalam hal othak-athik gathuk (menghubung-hubungkan sesuatu agar cocok), tak terkecuali dalam merangkai kata sehingga memiliki makna yang lebih filosofis. Masyarakat jawa memiliki metode kerata basa, guna mendapat arti dari sebuah kata, dalam hal ini kata ‘dalang. Dalang dipercaya berasal dari kata ngudhal piwulang, yang berarti orang yang pandai mengupas nilai-nilai pengajaran.
Kerata basa dapat dimaknai sebagai singkatan dari satu kalimat ke dalam satu kata tertentu, sehingga satu kata tersebut dapat menyiratkan makna kalimatnya. Kerata basa juga sering disebut sebagai Jarwa Dhosok, yang berarti  penjabaran/keterangan (jarwa) yang disingkat (dhosok/ndhesek). 
Pemaknaan kata yang melekat pada ‘sesuatu’ inilah yang seringkali dijadikan sebagai bahasa simbol orang jawa dalam melakukan komunikasi, memberikan pepeling (peringatan) ataupun piweling (pesan) bagi orang banyak. Sehingga dalang dimaknai sebagai seorang figur yang berwawasan luas, bijaksana, dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik kepada massa .
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan dalang sebagai orang yang memainkan wayang /boneka, baik wayang kulit maupun wayang golek. Namun kata dalang kini mengalami pergeseran makna. Dalang seringkali diartikan sebagai seseorang yang merencanakan / memimpin gerakan secara sembunyi-sembunyi. Misal dalang pembunuhan, dalang pemberontakan.

Kesenian
Seperti yang kita ketahui pada ulasan sebelumnya bahwa selain sebagai seniman, dalang juga berperan sebagai pelestari kesenian wayang kulit itu sendiri. Regenerasi dalang seringkali digunakan sebagai tolok ukur eksistensi wayang kulit. Jika dalang masih memiliki penerus, maka wayang akan tetap hidup dan eksis.
Di bidang seni, dalang dituntut mejadi seorang pelaku seni yang mumpuni ing saliring reh (kaya akan kemampuan), artinya sorang dalang harus menguasai berbagai cabang kesenian. Hal ini dikarenakan pertunjukkan wayang kulit mencakup berbagai disiplin seni, antara lain: (1) seni drama, (2) seni rupa, (3) seni sastra, (4) seni suara dan (5) seni musik tradisi.  
Kemampuan dalang dalam menguasai berbagai cabang kesenian itu akan memberikan hasil yang berbeda-beda satu sama lain. Artinya setiap dalang akan memiliki spesialisasi tersendiri sesuai dengan bidang yang amat ditonjolkanya, meskipun bidang yang lain tidak boleh diabaikan. Beberapa spesialisasi dalang antara lain:
1. Dalang suwara : dalang yang memiliki keterampilan tinggi di bidang olah suara (suluk atau nyanyian). Suaranya mantap, tidak fals, bertenaga serta memiliki nafas yang panjang.
2. Dalang sabet : dalang yang memiliki keterampilan tinggi di bidang gerak wayang. Gerakanya lincah, hidup, dan dapat memukau penonton.
3. Dalang gepyak : dalang yang memiliki pembawaan pagelaran yang bersemangat, tidak membosankan, serta selalu menarik penonton dengan kejutan-kejutan kecil di tiap adegan.
4. Dalang sastra : dalang yang memiliki keterampilan tinggi di bidang tata bahasa dan sastra. Kemampuan merangkai kata dan bahasa yang baik membuat dialog pergelaran menjadi indah.
5. Dalang semu : dalang yang memiliki kemampuan untuk meramu suara, sabet, bahasa menjadi hal yang menarik bagi penonton. Pada kategori ini  seseorang mungkin tidak memiliki kemampuan yang sempurna, namun sangat menarik minat penonton untuk mengikuti alur ceritanya. Dalang semu seringkali memiliki ide kreatif yang nakal, dan tidak segan-segan menyelipkan humor di sela-sela adegan.  

Teknologi
Di era masyarakat modern ini masyarakat seakan tidak bisa terpisahkan dari teknologi, terutama teknologi informasi. Media sosial dan internet seakan menjadi santapan sehari-hari masyarakat dari semua golongan dan usia. Hal ini secara tidak langsung sangat berpengaruh pada dalang, sebagai bagian dari masyarakat. Sejak pasca kemerdekaan, teknologi sangat berpengaruh pada pagelaran wayang kulit.
Pagelaran wayang pada dekade 50an agaknya mulai berubah dengan sentuan pengeras suara atau loud speaker sederhana yang hanya digunakan pada dalang saja. Baru di tahun 1970, pengeras suara untuk semua instrumen gamelan diperkenalkan di kalangan Radio Republik Indonesia. Saat itu pula pagelaran wayang mulai masuk pada era rekaman kaset pita, salah satu maestro dalang yang berhasil melambungkan namanya lewat teknologi ini adalah Alm. Ki Narto Sabdo.
Setelah Ki Narto Sabdo wafat, Ki Manteb Soedarsono dan Ki Anom Suroto melambung berkat media elektronik radio dan televisi, disertai dengan maraknya kaset vcd maupun dvd yang menjadi tren hingga dekade pasca tahun 2000. Teknologi informasi sungguh terbukti mampu membawa wayang kulit sejajar dengan acara-acara tv menarik lainya. Namun ketika panggung hiburan layar kaca didominasi oleh acara-acara sinetron, ajang mencari bakat, serta reality show, maka wayang pun tidak lagi mendapat jam tayang.
Di masa sekarang, wayang mulai bergeliat lagi melalui media internet. Adanya sekelompok massa pecinta wayang yang gemar melakukan live streaming pagelaran wayang menjadikan wayang semakin semarak di jaringan internet, hal ini semakin didukung dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia.





Fenomena ini ditangkap oleh beberapa dalang muda, untuk senantiasa melaksanakan live streaming Youtube pada tiap pergelaranya, salah satunya Ki Seno Nugroho. Melalui channel PWKS (Penggemar Wayang Ki Seno Nugroho), Ki Seno sukses mendapat perhatian publik di seluruh Indonesia. Dengan jumlah subscribe mencapai lebih dari 53 ribu pelanggan (Oktober 2018), penonton di channel Ki Seno Nugroho tersebut tidak pernah sepi penonton. Beberapa channel Youtube yang aktif menyiarkan pagelaran wayang kulit antara lain adalah PSMS (Penggemar Sejati Manteb Sedarsono), Ho No Co Ro Ko Live, Andhika Multimedia dan Punakawan Streaming.



Tampilan Youtube channel PWKS










DAFTAR PUSTAKA
Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Clara van Groenendael, Victoria M. 1987. The Dalang behind The Wayang. Leiden : KITLV.
Haryanto, S. 1988. Pratiwimba Adiluhung - Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Rosyadi, 2014. Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Cidaun- Cianjur Selatan Sebagai Wujud Adaptasi Budaya. Bandung: Balai Peelstarian Nilai Budaya.
Rustopo, dkk.2012. Seni Pewayangan Kita - Dulu, Kini dan Esok. Surakarta: ISI Press Solo.

WEBTOGRAFI
www.wildawilda.wordpress.com

No comments:

Post a Comment