Tanggal 19-21 Oktober menjadi hari-hari yang penting bagi jagad pedalangan di Indonesia. Pada tanggal tersebut Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) pusat menggelar Festival Wayang Indonesia. Acara tersebut digelar di Gedung Pewayangan Kautaman TMII Jakarta, dan terfokus pada kompetensi Dalang Remaja se Indonesia. Dua belas Provinsi di bumi pertiwi mengutus masing-masing kontingen mereka untuk mengadu kebolehan di ajang Kompetensi Dalang Remaja tersebut.
Saya yang merupakan dalang Wayang Pamarta, diberi kesempatan yang dahsyat untuk mengikuti Festival berskala Nasional tersebut. Oleh anugrah Tuhan, saya pun hijrah ke ibukota sebagai utusan provinsi Kalimantan Timur, tempat dimana saya pernah tinggal dan menetap. Saya pernah berkarir dan tinggal di Kaltim, walaupun harus kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikan di ISI Surakarta. Salya Gugur yang merupakan bagian dari cerita Bharatayudha, menjadi pilihan saya untuk mengikuti ajang festival tersebut.
Berbagai intimidasi ketakutan mulai hinggap di hati, seakan selalu menghantui. Persiapan yang hanya saya lakukan selama dua minggu agaknya sangat tidak seimbang dengan kontingen lain yang tentu telah mempersiapkanya selama berbulan-bulan. Hingga saya naik kereta api ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober, saya belum menghafal betul seluruh naskahnya. Seorang teman yang mengantar saya sampai ke Stasiun Balapan bertanya sesaat sebelum saya memasuki peron. “Sudah hafal naskahnya?” begitulah kata-kata yang dilontarkan. Dan saya pun menjawab “Dalam anugrah-Nya”.
Setibanya di Jakarta, sehari sebelum melakukan pementasan, saya dan kawan-kawan musisi karawitan melakukan Gladi bersih di lokasi Festival. Masalah yang tidak pernah dibayangkan muncul, gamelan yang disediakan tidak selengkap gamelan yang dipakai untuk latihan, sehingga ada beberapa part iringan yang tidak bisa dimainkan sesuai konsep awal. Kekhawatiran pun memuncak dalam hati saya, apalagi setelah melihat penampilan beberapa kontingen provinsi lain yang digelar dengan sukses luar biasa. Perasaan khawatir pun mulai mencoba mengambil alih hati saya, namun oleh kuasa Tuhan Yesus, saya dimampukan untuk mengalahkanya.
Berfoto bersama team sesaat sebelum "berperang" |
Salya VS Aswatama |
in Action |
Saat pementasanpun tiba, dan Roh Kudus menguatkan saya. Sampai titik saya mementaskan wayang berdurasi satu jam, saya tidak berani meminta kemenangan, satu hal yang saya imani, Tuhan akan lakukan yang terbaik. Jika menurutNya saya keluar sebagai juara adalah yang terbaik, maka tidak ada yang mampu menghalangiNya. Sebaliknya jika Tuhan berkehendak saya tidak mendapat gelar apapun, saya sangat siap, karena saya yakin itulah yang terbaik.
Pada malam pengumuman pemenang, diumumkanlah lima besar dalang, dan Puji Tuhan saya tidak masuk di dalamnya. Ada perasaan sedih karena saya tidak terjaring di dalamnya. Namun dalam hati saya belajar bersyukur dan berdoa “Jadilah kehendakMu”. Setelah pengumuman lima juara, diumumkanlah penyandang gelar “penyaji terbaik dengan kemampuan istimewa”, saya mengira pasti penyaji terbaik pasti diambil salah seorang dari pemenang lima besar. Tapi Tuhan berkata lain, nama saya disebut sebagai penyandang nilai tertinggi tersebut. Dahsyat! Tangan dan kaki saya spontan bergetar. Lidah saya tidak mampu berkata apa-apa, sepotong kalimat saja yang mampu saya katakana, yaitu “Segala Kemuliaan hanya bagiMu Tuhan Yesus-Ku”. Air mata pun tak tertahan menetes kecil dari kedua mata saya. Puji Tuhan.
Ketua Pepadi pusat memberi anugrah gelar Dalang terbaik |
Saya sangat percaya, ketika Tuhan berkehendak untuk mempromosikan kita, seperti apapun kondisi yang menghimpit, apapun masalah yang mencoba menghalangi, namun percayalah, tidak ada yang mampu menghalangi kehendakNya. Dia sedang bekerja, melakukan yang terbaik bagi saudara. Bersyukur dan berserah akan membawa kita dalam percepatan PROMOSI ILLAHI.
Tetap dalam AnugrahNya
Z. Wahyu Dunung Raharjo |
No comments:
Post a Comment